Jakarta, Mobilitas – Sepanjang Januari hingga Mei tahun ini, jumlah mobil utuh (CBU) yang diimpor sejumlah pabrikan di Indonesia melonjak 73,3 persen.
Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang dikutip Mobilitas, di Jakarta, Senin (26/6/2023) menunjukkan, sepanjang periode itu sebanyak 45.513 mobil CBU didatangkan pabrikan di Indonesia dari berbagai negara. Sementara, selama kurun waktu yang sama di 2022 lalu, jumlah mobil CBU yang diimpor masih sebanyak 26.265 unit.
Fakta berbicara, Toyota Motor tercatat sebagai pabrikan yang mengimpor dengan juumlah terbanyak yakni 18.661 unit. Kemudian disusul Mitsubishi Motors dengan jumlah 10.418 unit, Suzuki 5.274 unit, Mazda 2.126 unit, dan Hyundai 1.510 unit.
“Saya kira hal yang lumrah kalau ada pabrikan yang masih mengimpor unit-unit tertentu untuk dipasarkan di dalam negeri. Sebab, model-model itu memang dibutuhkan atau demand di market ada. Saya kira di semua negara kecenderungan seperti ini ada. Bahkan di negara pusat industri mobil sekali pun,”
Sedangkan untuk memproduksi di dalam negeri, lanjut Jongkie, tentu ada skala ekonomi untuk dijadikan standar kelayakan untuk memproduksinya yang harus dipenuhi. Adapun sakala ekonomi itu terjadi seiring dengan minat pasar atau masyarakat.
Menurut Jongkie, yang kurang pas dan sering dipertanyakan oleh masyarakat maupun pemerintah adalah jika ternyata permintaan model tersebut banyak tetapi tidak diproduksi di dalam negeri. Sementara, untuk meminta pabrikan memproduksi model yang dijualnya di lokal.
“Karena untuk memproduksinya itu prinsipal dari pabrikan atau merek yang bersangkutan. Dan mereka, tentu memiliki pertimbangan dan strategi tersendiri di pasar global, termasuk penentuan lokasi produksinya,” tandas Jongkie.
Sementara, kolega Mobilitas di Kementerian Perindustrian yang dihubungi di Jakarta, Senin (26/6/2023) petang mengakui sulit untuk melarang impor mobil CBU yang tidak diproduksi.
“Meski, kalau impor dibiarkan terus menerus dampaknya ke industri kita juga tidak akan berkembang juga. Kita hanya benar-benar menjadi residual market saja. Sebab bisa saja, secara volume kecil tetapi secara value (nilai) impornya besar, sebab mobil yang diimpor harganya jauh lebih mahal dari mobil yang dibuat di dalam negeri untuk ekspor,” kata dia.
Oleh karena itu, sebagai solusi dalam persoalan impor ini adalah memberlakukan ketentuan besaran impor ditetapkan berdasar ekspor yang dilakukan sebuah pabrikan. Kemudian, memberlakukan non tariff barrier untuk impor, karena untuk penerapan tarif saat ini sulit dilakukan.
“Ketiga, melakukan kesepakatan bilateral dengan negara asal mobil impor, untuk mendapatkan mutual benefit (kegiatan impor dan ekspor yang saling menguntungkan). Nah, sejauhmana benefit itu sudah kita dapatkan, tentunya ini bisa dilihat di neraca perdagangan kita dengan negara yang bersangkutan. Dan harus dilihat sektor per sektor,” tandas dia. (Din/Aa)