Jakarta, Mobilitas – Sampai saat ini tidak sedikit yang yang membeli kendaraan bermotor – baik mobil maupun sepeda motor – secara kredit menjual kendaraan itu meski proses kredit belum usai alias belum lunas.
Ada berbagai alasan mereka melego kendaraan yang mereka beli secara kredit itu. Mulai dari alasan karena sudah tidak sanggup lagi membayar angsuran kredit dan ingin mengalihkan beban kelanjutan pembyaran ke orang lain,hingga karena memang sengaja melakukan cara itu demi meraup keuntungan.
“Kalau alasan pertama itu, mungkin maksudnya over kredit. Tetapi karena tidak paham bagaimana tata cara dan prosedur over kredit, ya sudah menggunakan cara sederhana, kendaraan mereka jual ke orang yang mau dengan harga yang murah tentunya. Padahal, kalau konteksnya jual beli itu salah, karena belum ada BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) yang merupakan bukti kuat dan sah hak atas kendaraan itu,” ungkap praktisi hukum, Emil Nurzaman, saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Minggu (31/3/2024).
Pria yang berprofesi sebagai pengacara di kota Tangerang itu menyebut, modus kedua yakni ada unsur kesengajaan menjual mobil yang belum lunas angsuran kreditnya, biasanya dilakukan oleh sindikat pelaku kejahatan. Mereka umumnya, memang sengaja mencari orang-orang yang tengah kesulitan membayar cicilan kredit.
“Namun, apapun alasannya. Menjual kendaraan yang masih dalam status kredit merupakan tindak pelanggaran hukum. Sebab, itu diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia,” kata Emir.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Jumat (28/3/2024) mengatakan menjual kendaraan bermotor yang masih dalam status kredit melanggar pasal 36 UU Nomor 42 Tahun 1999.
“Pada pasal tersebut ditegaskan, bahwa debitur dilarang mengalihkan barang jaminan kredit yang merupakan aset milik penerima fidusia (jaminan). Artinya, kalau debitur sengaja menjual kendaraan yang dibelinya secara kredit itu sama halnya menjual barang milik pihak lain. Karena BPKB-nya pun masih dipegang penerima fidusia atau dalam hal ini perusahaan pembiayaan kredit (leasing),” papar Suwandi.
Hukuman dari perbuatan ini, lanjut Suwandi, ditegaskan pada pasal 33 ayat 2 UU Nomor 42 Tahun 1999 tersebut.
Pasal itu berbunyi “Pemberi Fidusia (nasabah kredit) yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah”. (Anp/Aa)
Mengawali kiprah di dunia jurnalistik sebagai stringer di sebuah kantor berita asing. Kemudian bergabung dengan media di bawah grup TEMPO Intimedia dan Detik.com. Sejak 2021 bergabung dengan Mobilitas.id