Hingga Mei Pasar Mobil RI Jeblok, di Grup Tiga Besar Penjualan Honda Anjlok Terparah

Ilustrasi, Honda WR-V - dok.Mobilitas

Jakarta, Mobilitas – Masih belum menguatnya ekonomi setelah penyelenggraan Pemilihan Umum (Pemilu) serta semakin selektifnya lembaga pembiayaan dalam penyaluran kredit disebut jadi penyebabnya.

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang dikutip Mobilitas di Jakarta, Selasa (11/6/2024) menunjukkan selama Januari – Mei 2024, jumlah mobil (dari berbagai pabrikan atau merek) yang terjual ke dari dealer ke konsumen (penjualan ritel) sebanyak 361.698 unit.

Jumlah ini ambrol hingga 14,4 persen dibanding total penjualan ritel selama periode sama di tahun lalu, yang mencapai 422.514 unit.

Hampir semua pabrikan atau merek mengalami anjloknya penjualan, termasuk pabrikan tiga besar (grup pabrikan dengan penjualan terbanyak), yakni Toyota, Daihatsu, dan Honda. Dari ketiga pabrikan itu ternyata Honda yang tercatat mengalami anjloknya penjualan paling parah.

Fakta data berbicara, selama lima bulan pertama 2024 itu Toyota hanya mengantongi angka penjualan ritel sebanyak 116.621 unit. Jumlah ini anjlok 10,8 persen dibanding total penjualan ritel yang dibukukannya pada periode sama di tahun 2023.

Ilustrasi, Toyota Avanza – dok.Mobilitas

Kemudian Daihatsu, menyerok angka penjualan ritel sebanyak 76.313 unit, anjlok hingga 12,47 persen dibanding total angka penjualan ritel yang berhasil dikemasnya pada Januari – Mei 2023. Sedangkan mobil Honda yang dijajakan PT Honda Prospect Motor (HPM) menyerok angka penjualan ritel sebanyak 44.056 unit.

Jumlah penjualan ritel Honda itu anjlok 23,16 persen dibanding total penjualan ritelnya di lima bulan pertama 2023. Dengan begitu, anjloknya penjualan ritel Honda ini yang terparah di antara kelompok tiga besar pabrikan dengan penjualan terbanyak (Toyota, Daihatsu, Honda).

Sebelumnya, Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto yang dihubungi Mobilitas, di Jakarta, Senin (10/6/2024) mengatakan, masih lesunya penjualan mobil ke konsumen dikarenakan semakin ketatnya lembaga pembiayaan dalam menyalurkan pembiayaan kredit. Padahal, 80 persen pembelian mobil di Tanah Air menggunakan cara kredit.

“Potensi naiknya suku bunga kredit setelah Bank Indonesia menaikkan BI Rate (suku bunga acuan) menjadi 6,25 persen dinilai sangat besar. Apalkagi, masyarakat banyak yang khawatir juga dengan kondisi ekonomi terutama saat menjelang sampai setelah penyelenggaraan pemilihan umum,” kata dia. (Din/Aa)