Michigan, Mobilitas – Kesimpulan itu terungkap dari hasil riset perusahaan intelijen pasar dan analisis data asal Michigan, Amerika Serikat – JD Power – bertajuk Initialy Qaulity Study (IQS) 2024.
Laporan Clean Technica dan Carbuzz yang dikutip Mobilitas di Jakarta, Minggu (30/6/2024) menyebut mobil listrik yang disebut dalam riset itu bukan hanya mobil listrik murni atau listrik baterai (BEV) saja, tetapi juga mobil listrik plug-in hybrid (PHEV). Perusahaan yang didirikan James David III pada tahun 1968 itu menyebut dalam IQS itu pihaknya melacak kepuasan pemilik mobil di Amerika Serikat (AS) terhadap mobil baru yang mereka beli.
Sebagai ukuran digunakan skor PP100 yakni jumlah masalah yang dialami mobil per 100 kendaraan. “Hasilnya, kendaraan konvensional berbahan bakar bensin dan solar rata-rata mendapat 180 PP100 tahun ini (masalah yang muncul 180 per 100 kendaraan). Sedangkan BEV lebih tinggi 86 poin dibanding kendaraan konvensional, yakni 266 PP100,” bunyi keterangan JD Power.
JD Power menyebut para penggemar kendaraan listrik sering beralasan kendaraan jenis ini semestinya tidak terlalu bermasalah. Pasalnya mobil listrik lebih sedikit menggunakan komponen dan sistem dibanding mobil konvensional.
“Namun, data perbaikan terhadap mobil listrik maupun mobil konvensional menunjukkan BEV dan PHEV ternyata memerlukan lebih banyak perbaikan dibandingkan kendaraan konvensional dalam semua kategori perbaikan,” ungkap Direktur Senior JD Power, Frank Hanley.
Mobil listrik (baik BEV maupun PHEV) yang sarat teknologi, lanjut Hanley, jika mengalami masalah, maka tingkat keparahannya lebih tinggi. “Mereka harus membawa kendaraan barunya ke dealer dengan biaya yang tiga kali lebih tinggi dibandingkan pemilik kendaraan berbahan bakar bensin,” tandas Hanley. (Jrr/Aa)
Mengawali kiprah di dunia jurnalistik sebagai stringer di sebuah kantor berita asing. Kemudian bergabung dengan media di bawah grup TEMPO Intimedia dan Detik.com. Sejak 2021 bergabung dengan Mobilitas.id