Jakarta, Mobilitas – Asuransi kendaraan bermotor yang di Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) disebut sebagai asuransi tanggung jawab kepada pihak ketiga (third party liability/TPL) ini dinilai memberatkan masyarakat kelas bawah.
Sejumlah kalangan mengakui secara teori, tujuan dari asuransi wajib ini memang bagus, namun pemerintah juga diminta untuk mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat menengah ke bawah. Pemerhati kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah adalah salah satunya.
“Kan yang namanya asuransi itu kan terpakai atau termanfaatkan ketika terjadi kecelakaan ya? kalau enggak duit itu ya tidak terpakai,” ungkap Trubus saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Sabtu (20/7/2024).
Trubus juga mempertanyakan skema pembayaran premi asuransi TPL itu, apakah hanya setahun sekali yakni hanya pada saat pembayaran perpanjangan pajak kendaraan (STNK) atau saban bulan. Selain itu, lanjut Trubus, apakah pembayaran premi itu hanya berlaku untuk kendaraan baru atau termasuk kendaraan lama.
“Kalau pun setahun sekalipun, bagi masyarakat kelas bawah , itu sudah memberatkan. Apalagi jika setiap bulan. Kelompok masyarakat ini beli motor karena untuk berhemat dalam bermobilitas, karena kemampuannya terbatas. Ada juga untu mencari nafkah (ojek atau kurir) karena motor itu dirasa lebih hemat,” tandas Trubus.
Pernyataan senada diungkap Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Sabtu (20/7/2024). Saat ini kelompk masyarakat kelas bawah, terutama kaum buruh beban hidupnya semakin berat.
“Jangan ditambahi aturan yang bersifat wajib dan semakin menambah biaya hidup mereka semakin besar. Orang beli mobil pun tidak semuanya berkecukupan. Karena ada orang kena PHK (pemutusan hubungan kerja) lalu beli mobil bekas untuk taksi online, untuk jualan kuliner, dan sebagainya karena tidak ada nafkah tetap lagi,” ungkap Said.
Seperti halnya Trubus, Said Iqbal menduga kewajiban untuk mengasuransikan kendaraan tersebut sebagai salah satu cara pemerintah untuk menghimpun dana dari masyarakat. Hal itu dilakukan setelah wacana iuran Tapera ditolak berbagai kalangan.
‘Patut diduga seperti itu (diberlakukan untuk menggantikan Tapera guna menghimpun dana dari masyarakat,” ujar Trubus.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPPDP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Selasa (16/7/2024) mengatakan meski keikutsertaan seseorang dalam asuransi kendaraan bersifat sukarela, namun sekarang hal itu bisa bersifat wajib. Sebab, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang PPSK mewajibkannya.
“Pemerintah sedang menggodok aturan pelaksanaannya, apakah itu Peraturan Pemerintah atau lainnya. Sehingga, bisa jadi mulai Januari 2025 nanti, ketentuan ini sudah berlaku,” papar Ogi.
Menurut Ogi, salah satu pertimbangan pentingnya diberlakukan ketentuan itu adalah, banyaknya kasus perselisihan pihak-pihak yang terlibat kecelakaan di jalan. Pada saat itu, pihak yang menjadi korban tabrak meminta ganti rugi. (Tan/Ron/Aa)