Penjualan Mobil di RI Januari – Juli Masih Ambles, Daya Beli Kelas Menengah Loyo

Ilustrasi, Daihatsu Rocky saat dipamerkan di GIIAS 2024 - dok.Mobilitas

Jakarta, Mobilitas – Penurunan penjualan mobil tidak hanya terjadi dari pabrik ke dealer (wholesales) saja, tetapi juga dari dealer ke konsumen (penjualan ritel).

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang dikutip Mobilitas di Jakarta, Sabtu (10/8/2024) menunjukkan, wholesales mobil selama tujuh bulan pertama 2024 itu sebanyak 484.236 unit. Jumlah ini berkurang signifikan alias ambles hingga 17,5 persen dibanding total wholesales pada periode sama di tahun lalu yang mencapai 586.931 unit.

Sementara, total angka penjualan ritel mobil yang dibukukan seluruh pabrikan atau merek pada periode Januari – Juli 2024 tersebut tercatat sebanyak 508.050 unit. Jumlah ini berkurang alias ambles hinggga 12,2 persen dibanding total angka penjualan ritel yang diraup pabrikan pada tujuh bulan pertama 2023 yang mencapai 578.891 unit.

Ihwal masih lesunya penjualan mobil ini, Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto menyebut karena kondisi daya beli masyarakat yang masih belum menguat. Konsumsi masyarakat – termasuk kelompok masayarakat menengah ke atas – bergeser.

“Daya beli sepertinya masih menjadi faktor utama (penyebab loyonya penjualan). Apalagi, leasing (lembaga pembiayaan) juga lebih selektif (dalam penyaluran pembiayaan kredit). perlu ada stimulasi agar konsumsi ini meningkat,” papar Jongkie saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Sabtu (10/8/2024).

Pendapat serupa diungkap Ekonom Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Sabtu (10/8/2024). Dia menyebut daya beli masyarakat kelas menengah Indonesia masih tertekan oleh inflasi sektor pangan.

Salah satu model mobil Mazda yang disajikan di GIIAS 2024 – dok.Mobilitas

“Anggaran untuk konsumsi tetap, namun dari pemasukan tidak ada perubahan atau kenaikan. Sementara, harga barang-barang konsumsi dasar (makanan dan minuman) mengalami kenaikan. Sehingga, konsumsi tetap terjadi, tetapi lebih ke sektor primer. Untuk sektor sekunder seperti fashion atau penunjang life style, termasuk kendaraan bukan prioritas lagi,” ungkap Telisa.

Fenomena seperti ini, lanjut Telisa, semakin terasa pada periode kuartal kedua (April – Juni) 2024, sehingga ekonomi tetap tumbuh, tetapi lebih kecil dibanding kuartal pertama.

“Kalau kita lihat data BPS (Badan Pusat Statistik) kan terlihat kurtal pertama ekonomi masih tumbuh 5,11 persen. Tetapi di kuartal kedua menjadi 5,05 persen. Data ini juga memperlihatkan sektor penopang pertumbuhan adalah sektor akomodasi, makanan dan minuman,” papar Telisa.

Faktanya, data BPS memperlihatkan sektor akomodasi, makanan dan minuman di kuartal II 2024 tumbuh 10,17 persen atau yang tertinggi diantara sektor yang ada. Sedangkan industri pengolahan makanan dan minuman tumbuh 5,53 persen. (Tom/Aa)