Konsumsi BBM di RI Capai 505 Juta Barel, Sektor Transportasi Sedot 49 Persen

Ilustrasi, pengisian BBM ke sebuah mobil - dok.Istimewa via Gardaoto.com

Jakarta, Mobilitas – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut sepanjang 2023 lalu, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) Indonesia mencapai 505 juta barel.

Menurut politisi Partai Golkar Itu, pada tahun itu produksi minyak nasional hanya 221 juta barel. Sedangkan yang berasal dari impor sebanyak 297 juta barel, dengan rincian minyak mentah 129 juta barel dan dalam bentuk BBM sebanyak 168 juta barel.

“Total nilai impor minyak kita (baik minyak mentah maupun BBM) mencapai Rp 396 triliun, pada tahun 2023,” ungkap Bahlil dalam keterangan resmi yang diterima Mobilitas di Jakarta, Jumat (29/8/2024).

Bahlil menyebut, dari total 505 juta barel minyak yang dikonsumsi Indonesia itu, 49 persen atau 248 juta barel merupakan konsumsi sektor transportasi. Kemudian, 34 persen atau 171 juta barel dikonsumsi sektor industri, 8 persen atau 38,5 juta barel oleh sektor kelistrikan, dan 6 persen atau 28,5 juta barel dikonsumsi sektor aviasi atau sektor penerbangan.

“Karena itu, saat ini pemerintah terus menyusun strategi agar impor minyak ini bisa dikurangi, sebab konsumsi minyak tidak mungkin untuk diturunkan. Salah satunya, optimalisasi produksi dengan peningkatan teknologi,” papar Bahlil.

Ilustrasi, pengisian BBM jenis Pertalite ke sebuah mobil di SPBU – dok.Istimewa via Haluan.co

Sementara, pakar ekonomi energi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, yang dihubungi Mobilitas dari Jakarta, Kamis (29/8/2024) menyebut untuk mengendalikan impor BBM – khususnya untuk BBM Bersubsidi – tidak tepat jika menaikkan harga jualnya.

“Karena kalau harga BBM dinaikkan, itu multiplier effect (dampak berantainya) besar. Inflasi akan naik, dan ini akan memukul daya beli dan membuat beban masyarakat menengah ke bawah semakin berat,” papar Fahmy.

Oleh karena itu, memastikan penyaluran BBM bersubsidi benar-benar tepat sasaran adalah solusinya. BBM tersebut harus benar-benar digunakan oleh mereka yang berhak dan masuk dalam kategori yang berhak menerima subsidi, padahal sangat membebani anggaran (APBN) negara.

“Selama ini kan mobil kategori kelas atas pun menikmati BBM bersubsidi itu. Ini yang membuat impor BBM bersubsidi terus membengkak, karena jumlah mobil yang semestinya tidak berhak subsidi juga bertambah. Karena itu, ini tugas pemerintah untuk melakukan pembatasan. Pastikan aturannya benar-benar tegas dan implementasi di lapangan benar-benar terjadi,” tandas Fahmy. (Tan/Aa)