Jakarta, Mobilitas – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait eksekusi jaminan fidusia yang dirilis Kamis, 9 September lalu, dinilai sebagian besar kalangan telah mengakhiri silang pendapat soal penyitaan kendaraan bermotor yang angsuran kreditnya macet tanpa melalui mekanisme pengadilan. Sekadar pengingat, fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan sebuah benda, yang mana registrasi kepemilikannya masih dalam kekuasaan pemilik benda tersebut.
“Nah, dalam proses kredit sebuah benda (termasuk kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor) hak kepemilikannya sebelum kredit itu lunas, masih atas nama pemilik yaitu lembaga pembiayaan (leasing), dan debitur (pengredit) itu berstatus penyewa hak guna usaha atau pakai. Itu yang perlu dipahami dulu ya,” tutur Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno, saat dihubungi Mobilitas, di Jakarta, Senin (27/9/2021).
Seperti diketahui dalam putusannya yang ditetapkan dalam surat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, MK menegaskan selama ini ketentuan larangan eksekusi mandiri tanpa pengadilan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur. Selain itu untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi.
“Tetapi, bagi debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur (lembaga pembiayaan) atau bahkan debitur (nasabah pengredit) itu sendiri,” bunyi putusan MK tersebut.
Suwandi menyebut, putusan itu MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 telah memperjelas terhadap apa yang selama ini dipersepsi berbeda-beda oleh masyarakat.
“Karena, dalam proses kredit kan juga sudah ada aturan yang jelas tentang hak dan kewajiban debitur. Begitu pun dengan kreditur (perusahaan pembiayaan atau leasing). Termasuk, bagaimana jika terjadi kredit macet. Bagaimana prosedur untuk mengingatkan nasabah yang gagal atau tidak memenuhi kewajiban angsuran, hingga penarikan barang jaminan (kendaraan). Jadi tidak hanya sepihak,” papar dia.
Tak akan semena-mena
Suwandi juga memastikan, kendati putusan MK telah menastikan bahwa penyitaan jaminan bisa dilakukan tanpa proses pengadilan, namun perusahaan pembiayaan tidak akan bertindak semena-mena. Selain mengacu pada aturan yang berlaku secara umum, perusahaan pembiayaan juga memiliki standar prosedur di internal mereka.
“Dan tentunya, standar dan ketentuan di internal itu juga tidak bertentangan atau mengabaikan aturan yang berlaku secara umum. Sehingga, hak dan kewajiban masing-masing pihak tetap dihormati,” kata Suwandi.
Selama ini pun, lanjut dia, perusahaan pembiayaan yang melakukan penarikan juga melalui beberapa tahap peringatan. Selain itu penyitaan dilakukan oleh collector yang bersertifikat, sehingga merek diakui tugas dan fungsi kerjanya.
Dalam proses penarikan barang jaminan, lembaga pembiayaan akan menginformasikan kepada debitur bahwa mereka telah melewati tenggat pembayaran angsuran alias menunggak. Debitur dinyatakan mengalami keterlambatan pembayaran dari tanggal jatuh tempo hingga tujuh hari.
Sehingga dikirimkan peringatan pertama. Jika, dalam waktu tujuh hari setelah peringatan pertama, tidak ada tanggapan maka akan dikirimkan peringatan kedua, hingga seterusnya peringatan ketiga jika belum juga ada respon dari debitur.
Sebelum ada Undang-undang Fidusia Nomor 92 Tahun 1999, sebut Suwandi, biasanya lembaga pembiayaan menunggu hingga tunggakan yang ketiga atau 90 hari sebelum melakukan eksekusi penyitaan barang jaminan.
“Tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya komunikasi, jika memang debitur ada kesulitan pembayaran angsuran, sebaiknya menghubungi laesing untuk dicarikan jalan keluarnya. Sehingga persoalan akan diselesaikan dengan menguntungkan kedua belah pihak,” pesan Suwandi. (Yap/Din/Aa)
Mengawali kiprah di dunia jurnalistik sebagai stringer di sebuah kantor berita asing. Kemudian bergabung dengan media di bawah grup TEMPO Intimedia dan Detik.com. Sejak 2021 bergabung dengan Mobilitas.id