Jakarta, Mobilitas – Jika sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, pemerintah akan memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019 dan telah direvisi menjadi PP Nomor 74 Tahun 2021 secara efektif mulai 16 Oktober nanti.
Dengan berlakunya belid anyar ini maka dasar acuan untuk menghitung besaran tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) juga berubah, tidak lagi berdasar kapasitas mesin dan sistem penggerak kendaraan, tetapi berdasar tingkat emisi CO2 yang dihasilkan.
“Dengan peratura baru ini, hanya kendaraan listrik murni atau yang berbasis baterai saja yang tarif PPnBM-nya 0%. Sedangkan yang lainnya, yakni kendaraan bermesin pembakaran internal atau internal combustion engine (ICE), hybrid, maupun plug-in hybrid tetap dikenai pajak (PPnBM),” ujar Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Rabu (6/10/2021).
Dengan dasar aturan itu pula, maka kendaraan yang tingkat emisi gas buagnya tinggi maka pajak yang akan dikenakan padanya juga semakin besar, dan sebaliknya. Cara gampang untuk melihat ketentuan besaran tyarif pajaknya adalah dengan melihat semakin boros bahan bakar yang dikonsumsinya maka semakin besar tarif pajaknya.
“Karena ini basisnya tingkat emisi. Sehingga, untuk mobil baru cara mudahnya ya lihat saja berapa tingkat konsumsi bahan bakarnya. Semakin boros, ya akan semakin besar tarifnya,” kata Jongkie.
Dengan perubahan besaran tarif pajak tersebut, lanjut Jongkie tentu akan berdampak kepada harga jual mobil juga berubah. Semakin tinggi emisi gas buang yang dihasilkan mobil baru lebih banyak atau konsumsi BBM-nya boros, maka semakin mahal harganya.
Agya Cs lebih mahal
Dasar kebijakan pentarifan PPnBM yang baru – atau dengan dasar tingkat emisi ini – bakal berdampak ke harga mobil murah ramah lingkungan LCGC, seperti Honda Brio Satya, Toyota Agya, Daihatsu Ayla, Daihatsu Sigra, Toyota Cayla, dan Suzuki Karimun Wagon R. Pasalnya, mobil-mobil ini – yang sebelumnya berdasar PP Nomor 41 Tahun 2013 bebas PPnBM – akan dikenai tarif PPnBM.
“Kalau yang saya baca di PP Nomor 73 2021 atau sebelum direvisi menjadi PP Nomor 74 tahun 2021, kalau enggak salah tarif PPnBM untuk LCGC ini 3%. Jadi, tentu saja dari yang sebelumnya tarif pajaknya 0% menjadi ada itu kan berarti akan berdampak ke besaran harga,” ungkap Jongkie.
Tarif PPnBM itu didasari perhitungan jika mobil-mobil LCGC itu tetap memenuhi syarat konsumsi BBM yang ditetapkan, yakni paling rendah 20 kilometer/liter atau tingkat CO2 yang dihasilkan sampai dengan 120 gram/km bagi model yang bermesain 1.200 cc. Cara penghitungan tarifnya, adalah selama ini LCGC itu PPnBM sebesar 15% dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar 20%.
Untuk menetapkan besaran tarif PPnBM, perhitungannya itu adalah dengan mengalikan antara tarif PPnBM baru yang dikenakan pada mobil yang bersangkutan dengan DPP-nya. Walhasil, untuk LCGC 15% x 20%, sehingga ketemulah besaran tarif PPnBM final 3%.
Lantas akankah pasar LCGC akan dengan serta merta menciut akibat bakal bertambahnya harga? Business Inovation and Sales & Marketing Director PT Honda Prospect Motor (HPM) Yusak Billy meyakini tidak akan banyak mengalami perubahan.
“Karena segmen LCGC ini memiliki market tersendiri yang kuat. Terlebih besaran tarif PPnBM sebesar 3% itu saya rasa tidak terlalu signifikan. Potensi pasar masih besar,” kata dia saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Rabu (6/10/2021).
Terlebih, lanjut Billy, rasio kepemilikan mobil di Tanah Air masih rendah, sehingga kebutuhan atau keingin orang membeli masih tinggi. Sementara LCGC merupakan mobil dengan harga yang paling terjangkau di antara model-model yang ada saat ini. (Din/Fan/Mus/Aa)
Mengawali kiprah di dunia jurnalistik sebagai stringer di sebuah kantor berita asing. Kemudian bergabung dengan media di bawah grup TEMPO Intimedia dan Detik.com. Sejak 2021 bergabung dengan Mobilitas.id