Jakarta, Mobilitas – Presiden terpilih Korea Selatan Yoon Suk-yeol memang baru akan resmi menjalankan roda pemerintahan pada Mei 2022 nanti, namun sejumlah perubahan telah terasa di Negeri Ginseng itu. Perubahan yang sangat berpotensi besar pengaruhnya adalah “memanasnya” hubungan dengan Cina, karena Yoon merupakan pengikut paham “melawan” upaya hegemoni Cina di Asia.
Seperti dilaporkan TFI Global News, belum lama ini, tegangnya hubungan Korea Selatan dengan Cina terjadi sejak tahun 2016. Saat itu, Amerika Serikat menempatkan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di negara tersebut.
Buntutnya, Negeri Tirai Bambu melakukan “tekanan” terhadap Korea Selatan, termasuk dalam ekonomi. Perusahaan asal Korea juga mendapatkan tekanan, salah satunya Hyundai Motor yang memiliki pabrik serta menjual produknya di negara berpenduduk terbanyak di dunia (1,3 miliar jiwa lebih) itu.
“Ada seruan boikot yang disponsori negara (pemerintah Cina) terhadap mobil Hyundai dan produk Korea lainnya di Cina,” tulis TFI Global News.
Akibatnya, pabrikan mobil terbesar di Korea Selatan itu hanya melego 50.000 mobil saja di tahun 2021 kemarin. Padahal, di tahun 2016, bersama anak perusahaaanya (Kia Motors Corporation) Hyundai mampu melego 1,79 juta unit.
Untuk mengimbangi penurunan itulah, kini Hyundai Motor Group telah membidik pasar Indonesia dan Asia Tenggara lainnya. Bahkan, Hyundai telah mendirikan pabrik baru di Kompleks Industri Deltamas, Cikarang, Bekasi, Indonesia.
“Pabrik Indonesia memang lebih kecil dari pabrik Hyundai di Cina, tetapi menargetkan pemenuhan atas permintaan domestik di Indonesia serta negara-negara Asia Tenggara. Meskipun pasar Indonesia didominasi oleh merek mobil Jepang dan sulit ditembus, saya pikir ada peluang bagi Hyundai untuk membidik ceruk pasar (di Indonesia),” kata Song Sun-jae.
Kolega Mobilitas di Kementerian Perindustrian yang dihubungi di Jakarta, Senin (4/4/2022) mengatakan, Indonesia merupakan target bidikan utama Hyundai karena memiliki populasi hingga 274 juta lebih. Pada sisi lain, potensi ekonomi Indonesia untuk terus berkembang juga sangat besar.
“Artinya, Indonesia merupakan pasar terbesar di Asean. Karena kalau berproduksi di Indonesia, lalu berhasil, maka Hyundai akan mendapatkan captive market yang cukup besar. Apalagi, bisa ekspor ke negara lain. Beda dengan Thailand yang selama ini menjadi negara terbesar basis produksi, tetapi secara populasi hanya sepertiga dari Indonesia,” kata dia.
Kedua, Indonesia memiliki kebijakan yang dilihat Hyundai sebagai kebijakan yang sejalan dengan strategi perusahaan. Kebijakan itu adalah, elektrifikasi di bidang transportasi.
“Apalagi, ekosistem berupa supply chain untuk kendaraan listrik itu juga terus berkembang dengan dasar berupa sumber material baterai, yaitu nikel banyak di Indonesia. Karena cadangan nikel Indonesia itu 20% dari total cadangan dunia,” papar sang kolega.
Dia menyebut, meski saat ini hampir 90% lebih pasar kendaraan bermotor roda empat Indonesia dikuasai pabrikan Jepang, namun pasar Indonesia masih terbuka bagi pabrikan non Jepang.
“Karena sekarang ini generasi Z dimana faktor rasional sangat tinggi.Termasuk dalam konsumsi, utamanya dalam pelihan kendaraan. Bagi mereka, teknologi, rasionalitas harga, dan desain menjadi pertimbangan utama ketimbang merek. Artinya, sekarang semua merek memiliki peluang yang setara,” imbuh dia. (Jrr/Aa)