Mobility

Anggaran Subsidi Angkutan Massal Dipangkas dan Hanya untuk 8 Kota, Ini Potensi Dampaknya

×

Anggaran Subsidi Angkutan Massal Dipangkas dan Hanya untuk 8 Kota, Ini Potensi Dampaknya

Share this article
Ilustrasi, bus kota - dok.The Nation

Jakarta, Mobilitas – Kini di tahun 2025 total anggaran untuk subsidi angkutan massal bus hanya Rp 177,49 miliar turun drastis dibanding tahun 2024 lalu yang sebesar Rp 437,89 miliar.

Direktur Angkutan Jalan, Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Ernita Titis Dewi, mengatakan dengan dipangkasnya anggaran subsidi tersebut maka pihaknya juga berpikir realistis. Kemenhub, kata dia, mengurangi jumlah kota penerima subsidi dana angkutan massal bus dari sebelumnya 13 kota menjadi 8 kota.

Delapan kota yang masih menerima subsidi itu adalah kota Palembang, Surakarta, Banyumas, Balikpapan, Surabaya, Makassar, Pontianak, dan Manado. Sementara kota Medan, Bandung, Jogja, Banjarmasin, dan Denpasar tidak lagi menerima.

“Dengan berkurangnya anggaran ini maka kami juga harus berpikir realistis. Mana yang akan dibiayai, mana yang komitmen daerah tinggi, dan mana yang perlu disupport lebih lanjut, dan mana pula kota yang diteruskan atau tidak,” ujarnya di kantor Kemenhub, Jakarta, Selasa (14/1/2025).

Menurut Ernita, pemberian subsidi angkutan massal perkotan itu adalah untuk memberikn sitmulan kepada masyarakat pengguna angkutan umum dan perusahaan operator angkutan umum. Kedua, mendorong masyarakat agar menggunakan angkutan umum bus untuk menghindari kemaacetan.

Ilustrsi, kemacetan lalu-lintas di Jakarta – dok.GoodStats

Dan yang ketiga adalah memudahkan mobilitas masyarakat. “Karena angkutan umum itu ongkosnya mahal kalau tidak disubsidi,” kata Ernita.

Sementara itu, pengamat transportasi umum Ahmad Farizi yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Selasa (14/1/2025) menilai kebijakan pemerintah yang memngkas anggaran subsidi angkutn umum itu tidak konsisten dengan tujuan mengurngi kemacetan di kota-kota besar. Selain itu juga kontradiktif dengan upaya mengurangi tingkat emisi kendaraan dalam rangka menuju netral karbon.

“Karena dengan dipangkasnya subsidi, ada daerah yang tidak mendapatkan sehingga ongkos transportasi masyrakat jadi mahal. Akibatnya masyarakat banyak yang kembali menggunakan angkutan pribadi motor. Ini tentu akan menjadikan tingkat kemacetan tinggi dan tingkat emisi karbon meningkar. Bukankah selama ini pemerintah mengatakan potensi kerugian ekonomi di Indonesia sangat tinggi akibat kemnacetan?,” papar Farizi yang juga seorang pengajar perguruan tinggi negeri di Semarang itu.

Dampak lainnya adalah, dengan semakin banyakny orang menggunakan kendaraan pribadi maka permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi juga meningkat. “Artinya, kebijakan memangkas anggaran subsidi angkutan massal perkotaan itu kontrapoduktif,” tandas Farizi. (Jap/Aa)