Jakarta, Mobilitas – Pelat nomor kendaraan bermotor – baik mobil maupun lainnya – yang terdiri deretan angka dan kode huruf adalah kode identitas dari sebuah kendaraan.
Dengan pelat nomor itu, bisa diketahui di kota dan wilayah mana kendaraan itu terdaftar berikut waktu atau tahun plus bulan didaftarkan.
Dengan pelat nomor itu pula, pemerintah – khususnya lembaga yang mengurusi keberadaan maupun jumlah kendaraan – bisa mengetahui potensi pendapatan negara atau daerah dari pajak yang semestinya diraup. Artinya, kini pelat nomor kendaraan bukan sekadar penunjuk jati diri tetapi juga sebagai sumber ekonomi.
Namun, tahukah kalian bagaimana pelat nomor kendaraan itu pertama kali dibuat? Apa alasan yang menjadi dasar perlunya dibuat pelat nomor itu? Di negara mana itu dibuat?
Berbagai sumber literatur menyebut, asal muasal dari perlunya dibuat pelat nomor adalah buah dari revolusi industri di Inggris dan negara-negara Eropa lainnya pada tahun 1750 – 1850.
Revolusi ini melahirkan perubahan besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi yang berdampak ke perubahan sosial, ekonomi, dan budaya dunia.
Singkat kata – di sektor mobilitas – dampak dari revolusi industri itu adalah banyaknya orang dengan pendapatan dan kekayaan yang lebih. Mereka berlomba membeli sarana mobilitas yakni mobil. Walhasil, jumlah mobil pun semakin banyak.
Berawal di Prancis
Melihat fakta banyaknya jumlah mobil yang ada di tangan masyarakat, dan berseliweran di jalanan desa maupun kota membuat aparat berwenang di kota Paris, Prancis, kewalahan memantaunya.
Kepala Layanan Sipil Departemen Kepolisian Seine, Paris, Prancis yang baru dilantik – kala itu – Louis Lepine memutar otak bagaimana menertibkan kondisi tersebut. Setelah berpikir keras, akhirnya pada 14 Agustus 1893 mencetuskan ide untuk meregistrasi mobil-mobil yang ada di masyarakat dan memberinya tanda dengan kode angka dan huruf di kendaraan itu.
Seiring dengan diberinya tanda-tanda untuk memudahkan pemantuan itu, juga diterbitkan aturan terkait dengan lalu-lintas di jalanan. Misalnya laju kecepatan dibatasi 20 kilometer per jam (kpj) di wilayah pedesaan dan 12 kpj di jalanan kota.
Sanksi bagi para pelanggarnya pun juga ditetapkan. Dari situlah kemudian, ide Lepine disetujui pemerintah dan dimulailah penerbitan pelat nomor kendaraan berikut sertifikat mengemudi. Ketentuan itu akhirnya menjalar ke kota-kota lain di Prancis, bahkan ke negara Eropa lainnya.
Tetapi, negara pertama yang membuat aturan secara sistematis bersifat nasional soal pelat nomor kendaraan bermotor itu adalah Belanda. Di Negeri Kincir Angin itu – pada awalnya, pelat nomor itu sekaligus menjadi semacam tanda izin mengemudi.
Kemudian di Amerika Serikat, pelat nomor mobil pertama kali muncul di New York, pada tahun 1901. Namun, saat itu pelat nomor mobil dibuat sendiri oleh pemilikn ya dari bahan logam dan atau lembaran kulit. Umumnya, pelat itu berisi kode nama permilik dengan inisial tertentu.
Sistem pelat nomor diatur dan berlaku secara nasioal di negara itu pada tahun 1920, dan semua pemilik kendaraan wajib mendaftarkan mobilnya. Setelah sebelumnya – pada tahun 1918 semua negara bagian sepakat memberlakukan aturan lalu-lintas baik mobil, pemilik mobil, serta rambu-rambu di jalan.
Pelat nomor di Indonesia
Sejarah lahirnya pelat nomor kendaraan di Indonesia – literatur sejarah menunjukkan – terjadi sejak tahun 1810, yakni ketika Inggris berhasil merebut Jawa dari Belanda. Kala itu, Inggris mengerahkan 26 batalion yang dinamai batalion A hingga Z dengan total personil 15.600 orang.
Semua batalion itu menggunakan kereta kuda dan mobil baik untuk angkutan personil, bahan-bahan pangan dan logistik lainnya, serta angkutan persenjataan. Satu batalion bisa memiliki ratusan kereta atau alat transportasi lainnya.
Agar sarana angkutan itu bisa dikenali dan dibedakan dengan sarana angkutan muysuh maka diberi tanda khusus sesuai dengan nama batalion yakni huruf plus angka sebagai nomor urut kendaraan sesuai daftar resmi. Di Batavia (Jakarta) misalnya, karena tempat batalion B, maka pelat nomor kendaraan di awalnya memakai kode B.
Untuk wilayah Banten karena ada batalion A memakai nama A. Begitu pun dengan Surabaya yang di wilayah itu terdapat balaition L, maka pelat nomor kendaraan berkode L. Lalu, di Madura yang diduduki Inggris pada 27 Agustus 1811, melalui batalion M juga menggunakan pelat nomor berkode M.
Sedangkan daerah-daerah yang memiliki kode pelat nomor dua hruf seperti AA (Magelang), AB (Yogyakarta), AE (Madiun), DK (Bali), ditetapkan karena ditakulkan Inggris belakangan. Bahkan, ada dua batalion yang menjaganya.
Kecuali Magelang yang hanya batilion A, karena batalion A juga ada di Banten, maka untuk membedakannya di Magelang diberi kode AA. Kode-kode itu berlaku di Indonesia hingga saat ini. (Swe/Aa/Berbagai sumber)