Bisnis

Cuma Laku 284 Unit per Bulan, Euforia Penjualan Wuling Air Ev Dinilai Mulai Pudar

×

Cuma Laku 284 Unit per Bulan, Euforia Penjualan Wuling Air Ev Dinilai Mulai Pudar

Share this article
Wuling Air EV yang diproduksi dan dijual di Indonesia - dok.Istimewa

Jakarta, Mobilitas – Wuling listrik baterai Wuling ini diluncurkan di GIIAS 2022 lalu, yang sekaligus mulai dijual.

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang dikutip Mobilitas, di Jakarta, Minggu (20/8/2023) menunjukkan, sejak Agustus hingga Desember 2022 alias selama lima bulan, Wuling Air Ev itu terjual sebanyak 8.053 unit. Dengan kata lain, mobil setrum Wuling itu terlego 1.611 unit saban bulannya.

Namun, ternyata di tahun 2023 ini, euforia penjualan mulai surut. Total angka penjualannya ke diler (wholesales) ternyata tak sampai 300 unit alias anjlok sangat dalam.

Fakta data berbicara, selama Januari hingga Juli tahun ini, total angka wholesales yang dikantongi Wuling Air Ev hanya 1.948 unit. Dengan kata lain, rata-rata saban bulannya dia hanya menyerok angka wholesales 284 unit, jauh di bawah rata-rata penjualan bulanan selama lima bulan sejak peluncurannya di 2022 (yakni dari Agustus – Desember 2022).

Total wholesales selama tujuh bulan pertama di 2023 ini dibukukan pada Januari sebanyak 35 unit, Februari 83 unit, Maret 421 unit dan April 747 unit. Kemudian selama bulan Mei sebanyak 455 unit, Juni 210 unit, dan Juli 293 unit.

Susutnya penjualan di tahun kedua setelah peluncuran ini dinilai salah seorang petinggi Gaikindo yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Minggu (20/8/2023) menjadi pertanda euforia penjualan sebuah mobil baru telah memudar.

Wuling Air Ev diluncurkan pertama kali di GIIAS 2023, bulan Agustus tahun itu – dok.Istimewa

Sebab, kata dia, di Indonesia konsumen segmen yang dibidik oleh mobil listrik itu (dengan harga Rp 200 juta – Rp 300 juta) masih berpikir ulang jika harus membeli mobil listrik.

“Mereka (di segmen pasar dengan daya beli ke mobil Rp 200 juta – Rp 300 juta) akan lebih memilih mobil ICE (Internal Combustion Engine atau mobil konvensional),” papar dia.

Selain tidak harus repot mencari tempat pengecasan, konsumen di kategori itu juga berpikir ongkos perbaikan mobil listrik akan jauh lebih mahal ketimbang mobil konvensional. Selain itu kurang sreg dan merasa akan sulit menjualnya kembali.

Pada sisi lain, lanjut dia, kelompok konsumen berdaya beli di atas Rp 400 juta, masih lebih menyukai mobil hybrid, plug-in hybrid. Kalau pun beli mobil listrik sekalian premium, karena memang selain untuk gengsi atau status sosial, mereka ingin tidak tanggung-tanggung membeli kenyamanan dari sebuah kendaraan.

“Jadi, kalau pun konsumen di segmen ini (berdaya beli ke mobil di atas Rp 400 juta) ada yang beli mobil listrik di bawah Rp 300 juta, ya untuk mobil kedua atau ketiga untuk fun-fun aja,” tandas sang petinggi. (Swe/Aa)