Jakarta, Mobilitas – Kementerian Perhubungan mencatat tingkat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang di Indonesia terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Bahkan sejak dua tahun lalu, kontribusi kecelakaan truk dan bus ini jadi yang terbesar nomor dua setelah sepeda motor. Padahal pada 2018 lalu hanya berada di peringkat ketiga.
Berdasarkan data kecelakaan lalu lintas tahun 2015 sampai dengan tahun 2020, terdapat 528.058 kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia sebanyak 164.093 orang.
”Sebelum tahun 2019, angkutan orang khususnya bus dan angkutan barang yakni truk merupakan jenis kecelakaan ketiga terbesar setelah sepeda motor dan mobil. Tetapi di tahun 2020, kedua angkutan itu mengalami kecelakaan yang meningkat sehingga menjadi kedua terbanyak,” papar Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi, saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Jumat (29/10/2021).
Menurut Budi, hasil investigasi yang dilakukan terlihat bahwa faktor manusia atau human error merupakan faktor utama terjadi penyebab kecelakaan. Sebab, lanjut dia, dari hasil uji forensik kecelakaan di tempat kejadian sedikit sekali yang membuktikan faktor teknis kendaraan menjadi faktor pemicu kejadian itu.
“Kalau bicara soal human error yang menjadi faktor pemicu utama kecelakaan, kita harus lihat apa yang menjadi penyebabnya. Ternyata beberapa kondisi yang menjadi penyebabnya. Dan itu salaing keterkaitan atau bisa dibilang menjadi lingkaran setan masalah yang kini menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pemangku kepentingan untuk mencari solusinya,” papar Sekretaris Jenderal Indonesian Multimodal Transport Association (IMTA), Kyatmaja Lookman saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Sabtu (30/10/2021).
Kompetensi supir
Kyatmaja yang juga menjabat Chief Executive Officer (CEO) perusahaan jasa angkutan dan logistik Lookman Djaja Group itu menyebut faktor tingginya biaya atau ongkos logistik karena “ketidakefisienan” dalam perjalanan dan lain-lain menjadikan perusahaan angkutan terus berpacu mencari cara untuk tetap menghasilkan keuntungan. Sehingga, kata dia, frekwensi perjalanan pun diperbanyak dalam setiap bulannya.
Sehingga, supir truk juga dituntut untuk memenuhi target waktu perjalanan pergi-pulang. Dengan begitu masa penggunaan truk juga lebih produktif. Pada sisi lain ternyata banyak supir truk yang tidak siap mengelola (me-manage) waktu.
“Mereka tidak biasa menggunakan waktu secara disiplin. Terlebih di jalan juga ada kendala lain seperti kemacetan. Kemudian tempat istirahat di area rest area yang kurang atau di jalan non tol yang kurang memadai. Akibatnya, mereka kelelahan dan mengantuk. Ini yang memicu terjadinya kecelakaan,” jelas pria yang pernah menjabat Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) itu.
Faktor kedua, yang juga tidak kalah penting adalah langkanya sumberdaya supir truk yang kompten baik dalam pengetahuan teknis dan skill mengemudi. Akibatnya, banyak perusahaan yang menerima kenek truk yang kemudian “naik kelas” menjadi supir.
Ketiga, karena skill yang minim plus pengetahuan yang kurang memadai, menjadikan merek juga hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman melihat seniornya supir truk ketika mereka menjadi kenek. Karena faktor itu, sebut Kyatmaja, sering ditemukan kasus kecelakaan yang disebut karena truk mengalami rem blong.
“Tetapi setelah diselidiki, ternyata karena perilaku yang salah supir. Mereka kerap menggunakan rem yang tidak semestinya, sehingga rem menjadi panas dan kekurangan angin. Jadi kesimpulannya faktor kualitas sumberdaya manusia supir juga menjadi salah satu faktor penyebab kecelakaan atau human error,” terang Kyatmaja.
Truk ODOL
Pernyataan senada diungkapkan Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno. Bahkan dia menambahkan (faktor keempat) yakni truk-truk yang secara dimensi ukuran berlebih dari semestinya plus muatan yang melampaui batas maksimal kapasitas alias Over Dimension dan Over Load (ODOL) juga menjadi faktor yang tak kalah besar kontribusinya dalam kasus kecelakaan yang terjadi selama ini.
“Karena secara teknis, sistem rem yang dirancang oleh pabrikan itu telah dihitung dengan cermat hanya sesuai dengan kapasitas maksimal muatan. Sehingga dengan ODO, dimana dimensi ukuran berlebih dan muatan yang melebihi batas maksimal, kemampuan sistem pengereman juga tak sanggup menahan laju truk terutama di turunan, jalanan berkelok, dan ketika menanjak,” papar Djoko saat dihubungi Mobilitas dari Jakarta, Sabtu (30/10/2021).
Seperti halnya Kyatmaja, Djoko yang juga pengajar di Fakultas Teknik Universitas Katolik Soegijapranata Semarang itu menyebut semua faktor-faktor penyebab kecelakaan itu saling berkaitan dan memiliki hubungan sebab akibat antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, perlu solusi pemecahan masasalah yang komprehensif.
“Dan ODOL harus dihentikan, karena selain merusak jalan dengan kerugian puluhan triliun rupiah harus ditanggung negara, praktik truk ODOL juga membahayakan masyarakat di jalan. Jika ini dibiarkan maka sama halnya membiarkan masyarakat dalam bahaya yang mengintai setiap hari,” imbuh dia. (Fat/Sut/Din/Aa)