Bisnis

Hingga Akhir Mei Tahun Ini, Penjualan Hino di Indonesia Masih Loyo

×

Hingga Akhir Mei Tahun Ini, Penjualan Hino di Indonesia Masih Loyo

Share this article
Ilustrasi, truk Hino Dutro - dok.Mobilitas

Jakarta, Mobilitas – Pabrikan kendaraan niaga jenis truk dan bus asal Jepang ini, mengalami kemerosotan kinerja tidak hanya dalam penjualan ke dealer (wholesales) saja, tetapi juga dari dealer ke konsumen (penjualan ritel).

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang dikutip Mobilitas di Jakarta, Minggu (23/6/2024) menunjukkan selama periode Januari – Mei 2024, kendaraan niaga Hino yang dijajakan PT Hino Motor Sales Indonesia (HMSI) hanya meraup angka wholesales sebanyak 7.705 unit. Jumlah ini merosot 33,2 persen dibanding periode sama di tahun 2023.

Sementara, di bulan Mei saja, angka wholesales yang berhasil dipetik Hino Indonesia hanya 1.848 unit. Jumlah ini anjlok 27,6 persen dibanding total angka wholesales yang berhasil dikantonginya di bulan yang sama tahun 2023.

Sedangkan total angka penjualan ritel yang dicetak Hino pada lima bulan pertama 2024 itu, sebanyak 8.186 unit. Jumlah penjualan riil ke konsumen ini anjlok 24,4 persen dibanding periode sama pada tahun 2023.

Ilustrasi, logo Hino – dok.Mobilitas

Selama bulan Mei saja, angka penjualan ritel yang berhasil dikemas Hino Indonesia hanya 1.422 unit. Jumlah itu merosot 22,5 persen dibanding total angka penjualan ritel yang berhasil dikoleksinya pada Mei 2023.

Meski, sejatinya anjloknya penjualan kendaraan niaga ini tak hanya dialami Hino saja, tetapi juga pabrikan atau merek lain seperti Mitsubishi Fuso, Isuzu, dan UD Trucks. Mereka juga mengalami kemerosotan dalam wholesales maupun penjualan ritel.

Sebelumnya, Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Jumat (21/6/2024) menyebut kinerja penjualan kendaraan niaga sangat sensitif terhadap kondisi ekonomi. Khususnya sektor-sektor yang selama ini menjadi penyerap kendaraan komersial itu.

“Sementara, sudah menjadi rahasia umum, sektor pertambangan, perkebunan mengalami tekanan karena harga maupun perkintaan komoditas mereka hasilkan di pasar global turun. Di sisi lain, ada penyelenggaraan pemilihan umum. Hajatan politik itu dipersepsi punya potensi risiko terhadap bisnis, sehingga pelaku bisnis wait and see, sampai sekarang,” kata Jongkie. (Anp/Aa)