Jakarta, Mobilitas – Seiring dengan datangnya musim hujan di Indonesia, berpotensi menyebabkan lapisan aspal (atau beton) di jalan termasuk jalan tol rusak dan berlubang sehingga menimbulkan korban luka bahkan nyawa melayang sia-sia. Jika terbukti kerusakkan tersebut sengaja tak segera diperbaiki hingga membawa bencana, maka pengelola jalan bisa terancam sanksi pidana.
Perhatian masyarakat atas jalan yang rusak – khususnya jalan tol – kembali membuhul kuat setelah berita meninggalnya seorang pengemudi Honda Brio, Febi Khoirunnisa (21 tahun) akibat kecelakaan menabrak Median Concrete Barrier (MCB) di jalan tol KM 363+800 B ruas Tol Kayu Agung-Palembang-Betung (Kapal Betung), Jumat (7/01/2022) lalu. Mobil Febi menabrak MCB karena menghindari jalan berlubang yang terdapat di ruas jalan tol tersebut.
Pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio menyebut pengelola jalan tol di mana pun yang lalai dan membiarkan jalan tol kelolaanya rusak serta tak segera memperbaikinya yang kemudian menyebabkan pengguna jalan celaka dapat dikenai sanksi. Terlebih jika menimbulkan korban jiwa.
“Meski, tentunya harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu. Mengapa baik soal jalan rusak dan apakah sudah diberi tanda yanga layak dan sesuai ketentuan yang berlaku atau tidak, maupun kronologi penyebab kecelakaan,” papar dia saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Selasa (11/1/2021).
Bahkan, sanksi tersebut bisa berupa sanksi hukuman pidana. Hal itu, lanjut Agus, telah ditetapkan di Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LAJ).
Sanksi pidana
Pernyataan senada diungkapkan Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno. “Dalam kasus jalan tol yang dikelola oleh lembaga atau perusahaan pengelola – baik BUMN maupun swasta – aturan tentang sanksi itu bisa menggunakan pasal 273 UU LLAJ,” kata pria yang juga pengajar Fakultas Teknik di Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang itu.
Ayat 1 dari pasal itu menyatakan”Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/ atau kerusakan Kendaraan dan / atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah),”
Kemudian ayat 2 pasal yang sama menyatakan “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah),”
Lalu, ayat 3 menyebut “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah),”
Sedangkan ayat 4-nya mengatakan “Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah),”.
Jadi, lanjut Djoko, sudah sangat gamblang soal sanksi bagi pengelola jalan termasuk jalan tol yang lalai dan menyebabkan celaka. Apalagi di Undang-undang itu juga secara jelas dinyatakan di pasal 24 bahwa pengelola jalan tol harus selalu menjaga standar dan kualitas sesuai regulasi atau aturan yang berlaku.
“Jika belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak penyelenggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak secara jelas untuk mencegah kecelakaan. Namun, untuk tuntutan sanksi harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu untuk melihat secara obyektif ada tidaknya unsur pidana yang dimaksud dalam undang-undang tersebut,” tandas Djoko.
Senada dengan Djoko, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Selasa (11/1/2021) mengatakan bahkan penggantian secara material saja yang diberikan oleh pengelola jika pengguna jalan tol tidaklah cukup. Sebab, pengguna menggunakan jalan tersebut tidak gratis tetapi membayar.
“Jadi konsumen pengguna jalan bisa menggugat penggantian secara immaterial. Ini sudah masuk kategori membahayakan nyawa bahkan sampai nyawa melayang. Jadi penyelenggara tol wajib dituntut lebih dari sekadar kerugian material. Meskipun penyelidikan secara independen, transparan,dan obyektif tetap harus dilakukan,” papar Tulus. (Jap/Fan/Jrr/Aa)