Jakarta, Mobilitas – Kecelakaan maut yang melibatkan truk sebagai pemicu tabrakan beruntun kembli terjdi di jalan Tol Cipularang kembali terjadi. Kali ini lokasi kejadian tabrakn maut yang melibatkn du truk dan satu minibus Toyota Kijang Innova itu terjdi di KM 92+500 dn KM 91+800 menuju arah Jakarta.
Kecelakaan ini menyebabkn satu orang terluka parah dan dua orang lainnya mengalami luka ringan. Kecelakaan yang terjadii pada Jumat (21/2/2025) sekitar pukul 17.50 WIB itu dipicu oleh truk bermuatan kardus yang diduga mengalami masalah pada sitem pengereman.
“Truk ini telah mengalami masalah pengereman dan sopir kehilangan kendali ketika di KM 92+500, kemudian truk menghantam Toyota Kijang Innova. Namun, truk masih melaju tidak terkendali hingga akhirnya menabrak truk lain (yang bermuatan kasur) di KM 91+800,” papar Senior Manager Representative Office 3 Jasamarga Metropolitan Tollroad Regional Division, Agni Mayvinna, saat dihubungi Mobilitas, di Jakarta, Sabtu (22/2/2025).
Kecelakaan yang diakibatkan oleh truk yang mengalami masalah pada sistem pengeremannya ini bukanlah kali pertama kali terjadi. Lantas mengapa terus berulang?
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menyebut ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya truk mengalami rem blong. Setidaknya, ada dua faktor utama.
Pertama , karen buruknya perawatan kendaraan oleh pemilik yang dikrenakan pemilik truk atau pengusaha angkutan truk ingin memaksimalkan armadanya di tengah tarif jasa angkutan truk yang dinilai sangat tipis margin keuntuangannya.
“Hal ini dikarenakan regulasi yang mengatur tarif jasa angkutan truk bersifat liberal. Pasal 184 Undang-undang nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-lintas Angkutan Jalan menyebut tarif angkutan ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan angkutan umum,” kata Djoko yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Sabtu (22/2/2025).
Ketentuan seperti itu sangat menekan pemilik truk atau pengusaha angkutan truk, terlebih di tengah persaingan yang ketat antar perusahaan angkutan jasa truk. Akibat margin yang tipis menjadikan pengusaha juga “abai’ dalam melakukan perawatan armada truknya.
“Oleh karena itu, selama regulasi yang ada di Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 itu tidak direvisi maka selama itu pula truk-truk dengan kondisi buruk yang mengancam keselamatan berkendaraa masih akan terjadi. Jadi kuncinya revisi regulasi,” tandas pria yang juga akademisi Fakultas Teknik Unika Soegijapranata Semarang itu.
Faktor kedua adalah, upah atau gaji sopir yang layak serta jam kerja yang pasti dan teratur. Sebab, dikarenakan tarif jasa angkutan yang marginnya sangat tipis, menjadikan pengusaha memaksimal operasional truk, atau bahkan melebihi durasi operasi yang normal.
“Akibatnya sopir pun harus bekerja melebihi batas normal. Kelelahan, tidak fokus, dan berakibat pada kecakapan dalam mengemudi secara baik dan benar yang berkurang. Apalagi truk yang dikemudikan juga ‘lelah’ karena digunakan secara terus menerus dan kurang perawatan,” tandas Djoko. (Anp/Aa)
Mengawali kiprah di dunia jurnalistik sebagai stringer di sebuah kantor berita asing. Kemudian bergabung dengan media di bawah grup TEMPO Intimedia dan Detik.com. Sejak 2021 bergabung dengan Mobilitas.id