Jakarta, Mobilitas – Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 31 Tahun 2021 – kemudian diperbarui dengan PMK Nomor 20/PMK.010/2021- telah memberikan insentif berupa diskon tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) bagi mobil bermesin kurang dari 1.500 cc dan 1.500 cc hingga 2.500cc.
Tujuannya untuk memacu penjualan mobil sehingga memicu pertumbuhan industri manufakturnya.
Namun, bagi sebagian kalangan kebijakan pemerintah itu tidak sinkron atau bahkan kontradiktif dengan upaya untuk mendorong pemasyarkatan kendaraan listrik di Tanah Air. Terlebih, pemerintah telah menetapkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan target telah ada 2.200 unit mobil listrik dan 2,13 juta unit sepeda motor listrik pada tahun 2025 nanti.
“Apalagi, pemerintah juga telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris. Di perjanjian ini, Indonesia berkomitmen melakukan penurunan emisi karbon sebesar 29% sampai dengan 41% bila dengan dukungan internasional pada tahun 2030 nanti,” ujar pendiri Independent Research Advisory Indonesia (IRAI), Lin Che Wei, belum lama ini.
Dengan target populasi kendaraan listrik sebanyak itu di tahun 2025 seperti dipatok dalam RUEN, kata Lin, maka saban tahun setidaknya harus ada 440 unit mobil listrik dan 426.000 unit sepeda motor listrik yang terjual di Indonesia sejak tahun 2020.
“Pencapaian target tersebut tentunya tidak mudah. Diperlukan insentif bagi konsumen dari kalangan menengah ke atas supaya mau beralih menggunakan kendaraan listrik. Baik dari tax (pajak), cost (harga mobil) hingga infrastruktur,” kata dia.
Sebuah ironi
Pemerintah, lanjut Lin Che Wei, sejatinya telah menjanjikan adanya berbagai insentif tersebut. Hanya, kini kondisi itu menjadi kontradiktif ketika insentif pajak atau diskon PPnBM untuk mobil konvensional juga diberikan.
“Jadi, ini lucu ketika insentif kendaraan listrik diumumkan, tetapi pada saat yang sama insentif PPnBM juga diumumkan sehingga mobil listrik tidak akan bertumbuh,” ucap dia.
Pernyataan senada diungkapkan Direktur Eksekutif Komite Pengurangan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin. Menurut dia, semestinya saat ini Indonesia melakukan switching atau perubahan dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik.
Selain komitmen ke dunia internasional berupa ratifikasi perjanjian Paris, dengan hihrahnya Indonesia ke kendaraan listrik juga memiliki keuntungan lain. Pertama, secara ekologi Indonesia yang kini juga tercatat sebagai negara dengan tingkat polusi udara yang tinggi, akan bisa mengurangi tingkat polusi tersebut.
Kedua, dengan menuju era baru – berupa mkendaran listrik – maka akan mengubah tatanan industri otomotif nasional yang sealama dikuasai oleh merek-merek dari negara tertentu, dengan hanya menjadikan Indonesia hanya sebagai pasar belaka. Harapannya, nilai tawar atau bahkan kemandirrian nasional dalam sektor industri otomotif minimal bisa ditata ulang untuk menuju kemandirian.
“Tentunya, kita juga berharap konglomerasi yang selama ini menjadi kepanjangan tangan mereka juga ingin melanggengkan keberadaan mobil konvensional yang tidak bagus bagi ekologi ini, juga akan berubah pro terhadap masa depan lingkungan dan kemandirian ekonomi nasional,” papar pria yang akrab disapa Puput itu kepada Mobilitas.
Dia bahkan menyebut, kebijakan insentif pajak melalui diskon PPnBM untuk mobil konvensional ini memupuskan pesemaian kendaraan listrik di Tanah Air. “Tentu ini sebuah ironi. Sangat ironis,” ucap dia. (Mus/Aa)