Mobility

Penerapan Pajak Progresif Kendaraan Diminta Dihapus, Karena Banyak Mudharat

×

Penerapan Pajak Progresif Kendaraan Diminta Dihapus, Karena Banyak Mudharat

Share this article
Ilustrasi, pajak mobil - dok.Parkers

Jakarta, Mobilitas – Kepala Korps Lalu-lintas Polri kembali mengungkapkan alasan mengapa kebijakan itu diusulkan.

Kepala Korps Lalu-lintas, Irjen Pol Firman Santyabudi, menyebut akibat penerapan pajak ini, banyak orang yang membeli mobil menggunakan identitas orang lain. Sehingga, data kepemilikan mobil di Indonesia tidak valid.

Bahkan ketika mobil tersebut mengalami masalah hukum, persoalan menjadi rumit. Misalnya saat terkena tilang elektronik (ETLE) dan surat tilang dikirim ke alamat seperti yang tertera pada data (atas dasar data yang terdaftar di Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau STNK) ternyata tidak sesuai).

“Pemilik rumah, dan orang yang namanya tertera di STNK itu bingung. Meski pun itu nama dan alamat dia. Ternyata, dia tidak mengetahui duduk masalahnya, bahkan dia memang tidak memiliki mobil yang bersangkutan. Setelah diteliti, ternyata KTP-nya pernah dipinjam orang untuk atas nama membeli mobil,” papar Firman Santyabudi, saat menjelaskan mengapa pihaknya mengusulkan penghapusan pajak progresif di rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI.

Pernyataan senada diungkap Kepala Subdirektorat STNK, Direktorat Registrasi dan Identifikasi (Regident) Korlantas Polri, Kombes Pol. M Taslim Chairuddin.

“Celakanya, ketika pemerintah atau dalam hal ini Pertamina mau menghitung besaran anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), ternyata juga tidak valid. Karena orang yang semestinya masuk dalam kategori yang berhak mendapatkan subsidi, ternyata tidak terhitung. Karena namanya tercantum sebagai pemilik mobil kelas menengah atau bahkan mewah,” papar Taslim, saat dihubungi Mobilitas, di Jakarta, Senin (10/7/2023).

STNK dan BPKB – dok.Mobilitas

Akibatnya, penyediaan BBM bersubsidi di lapangan jumlahnya lebih sedikit dari yang semestinya atau kebutuhan riil. Sehingga, muncul keluhan BBM bersubsidi kurang dan sebagainya.

Selain itu, ketidakvalidan data juga menjadikan informasi pemetaan rasio kepemilikan mobil di Indonesia semakin tinggi. Sehingga, tidak diketahui secara tepat sebenarnya seberapa banyak rasio kepemilikan mobil dengan jumlah penduduk yang sebenarnya.

“Padahal, data seperti ini sangat dibutuhkan industri, agar perkembangan produksi dan sebagainya mendapatkan acuan yang pasti. Tetapi, yang paling krusial adalah ketika mobil yang diatasnamakan orang lain itu mengalami masalah hukum. Mulai dari pelanggaran peraturan sampai hilang, prosesnya akan sangat ribet,” tandas Taslim.

Pengecekan data pembeli juga sulit dilakukan oleh polisi ketika mobil didaftarkan pertama kali oleh diler mobil. Dengan kata lain, jika kebijakan pajak progresif ini diteruskan justeru banyak mudharat.

“Dan yang pasti, upaya untuk menggali dana dari pajak progresif ini justeru tidak produktif. Karena orang menghindar dengan cara atas nama orang lain saat membeli kendaraan,” ujar Taslim. (Yus/Aa)