Penghapusan Premium dan Pertalite, Dinilai Lebih Bermotif Ekonomi

0
1354
Ilustrasi, pengisian BBM Pertalite ke sepeda motor di sebuah SPBU - dok.Pertamina

Jakarta, Mobilitas – Pemerintah berencana menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite dengan alasan untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup mulai tahun 2022 nanti. Namun rencana yang terkuak dari bocornya dokumen risalah rapat kerja DPR dengan Pertamina, Kamis (23/12/2021) lalu itu dinilai lebih banyak bermotif kepentingan ekonomi ketimbang untuk memperbaiki kualitas hidup.

“Penggunaan bahan bakar yang lebih berkualitas memang memiliki dampak bagus terhadap kondisi lingkungan hidup atau ekologi. Tetapi dalam konteks pemunculan kembalai wacana itu di saat ini aroma kepentingan ekonominya jauh lebih kuat ketimbang kepentingan ekologi,” ungkap Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Rabu (29/12/2021).

Sawung menyebut jika alasannya demi lingkungan mengapa pemerintah melakukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang ditetapkan pada 16 September lalu. Putusan ini merupakan putusan atas gugatan 32 orang yang menamakan diri Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) pada 4 Juli 2019 yang meminta tergugat mengendalikan polusi udara di Ibu Kota sejumlah provinsi termasuk DKI Jakarta.

Ilustrasi, SPBU – dok.Pertamina.com

Mereka yang digugat adalah Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat. Pengadilan meminta para tergugat untuk memperbaiki kualitas udara di daerah yang dimaksud dalam gugatan.

Beberapa jam setelah vonis dibacakan pada Kamis (16/9/2021), Gubernur Anies Baswedan menegaskan bahwa tidak akan mengajukan banding. Namun, pemerintah mengajukan banding atas putusan itu.

Sawung mempertanyakan jika penghapusan premium dan pertalite itu didasari tujuan demi lingkungan hidup atau ekologi, mengapa pemerintah pusat banding terhadap putusan atas gugatan pengendalian polusi udara itu. Dia menilai rencana itu lebih bermotif ekonomi meski mengedepankan dalih atau wajah kepentingan ekologi.

Pengisian pertamax ke sebuah sepeda motor – dok.Pertamina

“Kalau memang untuk lingkungan mengapa baru sekarang? Bahkan  kita di Walhi sudah lama mendorong pemerintah untuk mengganti standar emisi menjadi Euro 4, dan BBM yang memenuhi standar ini adalah yang beroktan (Research Octane Number/RON) minimal 91 (pertalite),” papar Sawung.

Defisit APBN dan inflasi
Dugaan lebih kuatnya motif ekonomi dalam rencana penghapusan premium dan pertalite itu juga diungkap Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara. Mantan ekonom Indef itu menyebut saat ini postur Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak seimbang antara pendapatan dan pendapatan.

“Sejak terjadi pandemi, APBN kita membengkak dimana sumber pendapatan terbesar berasal dari utang, yang saat ini secara kumulatif nilainya sudah mencapai Rp 6.711 triliun. Sehingga defisit semakin membesar. Pada sisi lain pemerintah juga dituntut untuk menurunkan tingkat defisit anggaran di bawah 3% sampai dengan tahun 2023. Karena itulah segala upaya untuk penghematan akan dilakukan,” ungkap Bhima saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Rabu (29/12/2021).

Langkah penghematan itu diduga, diduga kuat akan dilakukan dengan cara penghapusan premium dan pertalite. Sebab dua jenis bahan bakar tersebut harganya sudah tak disubsidi, namun 40% – 70% berasal dari impor yang dana untuk impornya berasal dari APBN.

Ilustrasi, tingkat inflasi – dok.The Financial Express

“Apalagi tingkat konsumsi dua jenis bahan bakar itu masih banyak. Kalau kita lihat datanya Pertamina, pada November 2020 lalu konsumsi BBM Nasional terbanyak adalah pertalite dengan porsi sekitar 63%, lalu premium 23%, pertamax 13% dan pertamax turbo 1%,” kata Bhima.

Dengan fakta seperti itu, peraih gelar Master in Finance dari Universitas Bradford, Inggris itu mewanti-wanti kemungkinan terjadinya lonjakan inflasi sangat besar. “Kemungkinan tingginya inflasi dikarenakan selisih harga premium dan pertalite dengan pertamax cukup besar. Sedangkan jumlah total pengguna keduanya mencapai 80% lebih,” imbuh Bhima. (Fer/Yus/Aa)