Jakarta, Mobilitas – Melorotnya penjualan mobil tidak hanya dari pabrik ke diler (wholesales) saja, tetapi juga dari diler ke konsumen alias penjualan ritel.
Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang dikutip Mobilitas di Jakarta, Jumat (12/1/2024) menunjukkan selama setahun penuh di 2023, total wholesales yang dibukukan seluruh pabrikan di Tanah Air sebanyak 1.005.802 unit. Jumlah ini menyusut 4 persen dibanding total wholesales yang dicatatkan selama tahun 2022.
Pada saat yang sama, total penjualan ritel yang tercetak sebanyak 998.059 unit, menciut 1,5 persen dibanding total penjualan ritel pada tahun 2022. Dengan demikian, target yang dipatok Gaikindo bahwa penjualan di tahun 2023 mencapai 1,05 juta unit tak tercapai.
“Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya, yang intinya adalah masalah perekonomian kita. Bank dan leasing (lembaga pembiayaan) memperketat atau lebih selektif dalam penyaluran pembiayaan karena suku bunga acuan Bank Indonesia juga naik,” papar Ketua I Gaikindo, Jongkie Sugiarto, saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Jumat (12/1/2024).
Selain itu, lanjut Jongkie, kondisi perekonomian nasional juga melambat, karena berbagai penyebab. Data berbicara, pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga tahun 2023 hanya 4,94 persen turun dari kuartal II yang masih 5,17 persen.
Sementara itu Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Jumat (12/1/2024) secara tegas mengatakan daya beli masyarakat Indonesia melemah di tahun 2023.
“Meski tingkat inflasi di tahun 2023 hanya 2,61 persen atau terendah dalam 20 tahun terakhir, tetapi angka inflasi ini diukur dengan indeks harga komoditas (IHK) yaitu menggunakan komponen di luar harga pangan dan bahan bakar yang sifatnya cenderung tetap atau persisten. Bukan komponen interaksi antara permintaan dan penawaran yang benar-benar mengukur daya beli masyarakat,” papar dia.
Daya beli masyarakat melemah, kata Bhima, karena permintaan agregat masyarakat di tahun 2023 yang menurun. Masyarakat menahan konsumsi karena mereka selama ini hanya mengandalkan tabungan.
“Ini bisa dilihat dari data rata-rata tabungan masyarakat menengah ke bawah yang hanya Rp 1,9 juta. Padahal, pada tahun 2018 atau sebelum pandemi Covid-19 yang mencapai Rp 3,02 juta. Penghasilan mereka pas atau bahkan kurang untuk biaya hidup sekeluarga, akibat biaya hidup yang tinggi meski tidak banyak yang menyadari,” tandas Bhima. (Swe/Aa)