Penjualan Mobil RI Loyo: Daya Beli Melemah, Beli Mobil Bukan Skala Prioritas

Ilustrasi, Daihatsu Sigra - dok.Istimewa

Jakarta, Mobilitas – Sampai dengan bulan Mei (Januari – Mei) penjualan mobil dari dealer ke konsumen (penjualan ritel) mobil di Tanah Air masih merosot dibanding periode sama di tahun 2023.

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang dikutip Mobilitas di Jakarta, Rabu (12/6/2024) menunjukkan selama lima bulan pertama 2024, penjualan ritel mobil di Tanah Air sebanyak 361.698 unit. Jumlah ini ambrol hingga 14,4 persen dibanding total penjualan ritel selama periode sama di tahun lalu, yang mencapai 422.514 unit.

Direktur Eksekutif Insitute for Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Rabu (12/6/2024), menyebut akar penyebab lemotnya penjualan ritel mobil itu dikarenakan daya beli kelas menengah ke bawah yang melemah.

“Apalagi kalau kita lihat datanya, mobil yang paling banyak terjual di Indonesia adalah mobil kategori atau kelas menengah ke bawah. Mobil-mobil ini umumnya berharga Rp 300 juta ke bawah,” kata Tauhid.

Loyonya daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah dikarenakan biaya hidup yang semakin mahal, sementara pendapatan tidak bertambah. Pada sisi lain, ragam kebutuhan juga bertambah.

Ilustrasi, Hyundai Stargazer – dok.Istimewa

Tauhid menyodorkan data, dimana konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen selama kuartal pertama 2024. Penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi di periode itu (yang sebesar 5,11 persen) memang konsumsi, tetapi konsumsi pemerintah dan partai politik untuk keperluan Pemilihan Umum.

“Sehingga, masyarakat (kelas menengah ke bawah) membuat skala prioritas dalam membelanjakan uang mereka, fokus utamanya ke kebutuhan primer dan sekunder. Sedangkan kendaraan bermotor (terutama mobil) merupakan kebutuhan tersier,” kata Tauhid.

Kondisi ini, sekarang lebih berat karena melihat fakta ekonomi seperti itu lembaga pembiayaan juga memperketat penyaluran kredit. Terlebih, Bank Indonesia (BI) juga telah mengerek tingkat suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 6,25 persen yang berpotensi menjadikan mereka mengatrol suku bunga kredit.

“Dengan kondisi ekonomi yang ada, dan tingkat suku bunga yang naik, potensi risiko kredit macet juga besar. Jadi, wajar kalau lembaga keuangan juga memperketat penyaluran kredit. Masalahnya, sebagian besar pembelian mobil dilakukan dengan skema pembayaran secara kredit,” papar Tauhid.

Dia mengingatkan faktor daya beli menjadi tantangan industri otomotif, sekaligus pekerjaan rumah pemerintah. (End/Aa)