Jakarta, Mobilitas – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyatakan Indonesia akan menyetop penjualan mobil konvensional pada tahun 2050. Kebijakan itu merupakan bagian dari tahapan di peta jalan (roadmap) menuju target nol emisi (net zero emission/NZE) pada 2060.
Bahkan, dalam keterangan resmi yang dirilis Jumat (8/10/2021) lalu, Kementerian ESDM menegaskan, peralihan kendaraan di sektor transportasi menjadi listrik adalah salah satu dari lima prinsip utama mencapai target nol emisi.
“Kami telah menyiapkan peta jalan transisi menuju energi netral mulai tahun 2021 sampai tahun 2060 dengan beberapa strategi kunci,” ungkap Menteri ESDM, Arifin Tasrif.
Berdasarkan roadmap ESDM, Indonesia akan berhenti menjual sepeda motor bermesin konvensional pada tahun 2040 dan setop menjual mobil bermesin konvensional pada tahun 2050. Hanya, tidak disebutkan secara gamblang dan tegas, apakah pada tahun itu nanti semua kendaraan yang dijual harus berteknologi listrik murni (BEV) ataukah termasuk masih berteknologi hybrid dan plug-in hybrid (PHEV)/
Menyikapi target ini Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto memberi catatan khusus. Jongkie menyatakan menegaskan industri otomotif di Tanah Air akan mendukung penuh kebijakan pemerintah tersebut
“Pertama, tentunya di dalam target kebijakan itu Kendaraan Bermotor (KBM atau mobil yang masih menggunakaan mesin pembakaran) masih digunakan sebagai sarana tr4ansportasi, meski dengan inovasi teknologi elektrifikasi tetap digunakan,” ujar Jongkie saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Selasa (12/10/2021).
Sebab, dengan masih bertahannya KBM plus dengan inovasi teknologi elektrifikasi – baik berupa hybrid maupun PHEV – maka roda bisnis industri kendaraan bermotor yang ada saat ini tidak akan mengalami guncangan. Begitu pun dengan industri komponen pendukungnya, yang saat ini jumlahnya ribuan dan menyerap jutaan tenaga kerja.
“Dengan begitu industri tetap hidup, tenaga kerja terserap, dan ekonomi nasional terus berkembang,” ujar Jongkie.
Selain itu, lanjut Jongkie, industri nasional pembuat kendaraan bermotor harus berada dalam kondisi yang leluasa dalam mendapatkan margin keuntungan. Hal itu, bisa terjadi jika biaya produksi juga rendah, sebab jika tidak maka produk yang dihasilkan akan berharga mahal karena biaya produksi kendaraan elektrifikasi tidaklah murah.
Faktor kemampuan atau daya beli masyarakat, sebut Jongkie, juga harus mendukung. Karena itu, pendapatan per kapita masyarakat harus meningkat, agar mampu menyerap kendaraan berteknologi listrik.
“Setidaknya, kalau saat ini masih di angka US$ 4.000-an per tahun, ya setidaknya bisa seperti Thailand yang sekitar US$ 7.000), atau bahkakan Malaysia (US$ 11.000). Karena itu program pembangunan ekonomi harus digenjot,” kata dia.
Dengan pendapatan per kapita yang tinggi atau daya beli yang mumpuni, maka penyerapan kendaraan elektrifikasi oleh masyarakat akan terjadi.
“Kalau tidak, yang terjadi justeru sebaliknya dan kebijakan penggunaan kendaraan elektrifikasi secara massif tidak akan terjadi,” imbuh Jongkie. (Fan/Din/Aa)