Jakarta, Mobilitas – Harga jual mobil bakal terkerek jika pelemahan nilai tukar terus terjadi, dan komponen mobil yang diproduksi di Indonesia banyak berasaal dari luar negeri, atau mobil diimpor secara utuh (CBU).
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie Sugiarto yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Rabu (1/5/2024) mengatakan, meski secara umum pabrikan atau agen pemegang merek mobil di Indonesia telah melakukan hedging (lindung nilai dari mata uang) dalam melakukan impor, namun hedging biasanya ada jangka waktu masa berlakunya.
“Jadi hedging itu kan lindung nilai dengan cara membuat kesepakatan dalam proses impor itu disepakati nilai tukar rupiah berada dalam besaran berapa terhadap mata uang asing yang digunakan, misalnya dolar AS. Jika masa hedging telah berkahir, dan nilai tukar rupiah masih melemah, maka mau tidak mau nilai impornya menggunakan kurs yang berlaku saat itu. Itu yang dikhawatirkan, harga jual mobil akan meningkat,” papar Jongkie.
Oleh karena itu, lanjut Jongkie, kalangan industri berharap melemahnya nilai tukar ini segera bisa diatasi. Sehingga, kata dia,dari kepentingan konsumen, kondisi tersebut tidak memberatkan karena harga jual mobil tidak melonjak.
Sementara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Rabu (1/5/2024) menyebut semakin tingginya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah menjadi simalakama.
“Karena dari kepentingan konsumen, itu musibah. Tetapi bagi eksportir itu berkah, karena nilai dari hasil ekspornya meningkat. Tetapi, kalau bicara secara umum, apakah volume ekspor kita memang benar-benar besar?,Padahal, tingginya dolar AS terhadap rupiah itu sangat membebani pemerintah terutama dalam pembayaran pokok dan bunga utang nasional. Kalau ini semakin berat maka ekonomi nasional jelas semakin tidak bagus,” papar Bhima.
Terlebih, pada saat ini kinerja ekspor produk non migas Indonesia jeblok, termasuk ekspor popduk kendaraan atau otomotif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang disitat Mobilitas di Jakarta, Rabu (1/5/2024) sepanjang Januari – Maret 2024 nilai ekspor non migas sebesar US$ 58,3 miliar, atau ambles 7,53 persen dibanding periode sama di tahun 2023.
Di kelompok komoditas non migas ini termasuk produk kendaraan dan komponennya. Selama tiga bulan pertama itu, ekspor kendaraan dan komponen nilainya ambles 9,64 persen dibanding kuartal I 2023.
“Padahal, penopang nilai tukar itu sangat dipengaruhi oleh kinerja ekspor dan seberapa besar nilai impor. Kalau nilai ekspor timpang atau defisit, maka nilai tukar rupiah akan melemah,” ujar Bhima.
Jika nilai tukar rupiah terus melemah, lanjt mantan Ekonom Indef itu, maka inflasi akan meninggi. Sedangkan jika inflasi meninggi, maka ekonomi nasional akan semakin melemah dan daya beli masyarakat merosot.
“Jadi, kalau bicara industri otomotif, dalam kondisi nilai tukar rupiah lemah seperti itu, harga jual kendaraan berpotensi naik, tetapi di saat yang sama daya beli masyarakat melemah. Industri jelas pasti akan terdampak,” ujar Bhima. (Yan/Aa)
Mengawali kiprah di dunia jurnalistik sebagai stringer di sebuah kantor berita asing. Kemudian bergabung dengan media di bawah grup TEMPO Intimedia dan Detik.com. Sejak 2021 bergabung dengan Mobilitas.id