Jakarta, Mobilitas – Penjualan kendaraan komersial (yang terdiri dari truk dan bus) merek asal Swedia – Scania – di Indonesia sepanjang Januari hingga Agustus tahun ini benar-benar moncer, setelah di tahun 2020 ambles. Selama delapan bulan pertama tahun ini penjualan ke konsumen (ritel) truk dan bus Scania ‘meroket’ hingga 237% dibanding periode sama di tahun 2020.
Data yang dinukil Mobilitas dari laporan penjualan ritel kendaraan komersial ke Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan di rentang Januari hingga Agustus tahun ini total penjualan ritel merek Scania mencapai 428 unit. Sedangkan di bulan Agustus saja penjualan ritel yang dibukukan sebanyak 35 unit, naik 150% dibanding bulan yang sama tahun 2020.
Meroketnya penjualan selama delapan bulan pertama tahun ini jelas memberikan torehan sejarah baru di rekam jejak perjalanan merek ini di Indonesia. Pasalnya, sepanjang tahun 2020 lalu, penjualan ritel Scania ambrol dibanding tahun 2019.
Selama 12 bulan di 2020, total penjualan ritel yang dikantongi hanya 217 unit. Jumlah ini berasal dari penjualan di bulan Januari yang sebanyak 11 unit, Februari 44 unit, Maret 9 unit, April 12 unit, Mei 8 unit, dan Juni sebanyak 16 unit.
Lalu pada bulan Juli penjualan ritel yang dibukukan sebanyak 13 unit, Agustus 14 unit, September 2 unit, Oktober 38 unit, November 32 unit, serta dari penjualan bulan Desember 18 unit. Tetapi, total penjualan ritel selama tahun 2020 ini ternyata juga ambrol dibanding tahun 2019.
Fakta data berbicara sepanjang tahun 2019 total penjualan ritel yang dibukukan 432 unit. Angka penjualan ritel ini sama persis dengan penjualan unit ke diler (wholesales).
Lagi-lagi data menunjukkan, ternyata jumlah penjualan ritel yang berhasil diraup selama tahun 2019 itu pun juga sudah rontok dibanding tahun 2018. Sebab, di tahun 2018, Scania berhasil mengoleksi angka penjualan ritel sebanyak 792 unit.
Pemicu permintaan
Sementara, ihwal kinerja penjualan ritel truk Scania di delapan bulan pertama tahun ini, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan, menduga karena banyaknya perusahaan jasa angkutan dan logistik yang skala bisnisnya masih terus tumbuh.
Terlebih, kata Tarigan yang dihubungi Mobilitas di Jakarta, Kamis (23/9/2021), sejumlah sektor usaha pengguna truk juga tak masuk dalam kebijakan larangan operasional meski di tengah pandemi.
“Saya tidak tahu persis penjualan unit masing-masing merek ya (termasuk Scania), tetapi sebagai gambaran secara umum, di masa pandemi (sejak 2020) sektor jasa transportasi dan logistik untuk barang-barang pendukung produksi industri manufaktur, kemudian barang konsumsi kebutuhan pokok, hingga barang-barang untuk ekspor kan tidak terkena pembatasan ya. Jadi rencana memenuhi kebutuhan armada angkutan pun bisa dipenuhi. Mungkin seperti ini. Apalagi, sektor-sektor komoditas juga mulai menggeliat,” ungkap Tarigan.
Sedangkan untuk permintaan bus Scania, Ketua Ikatan Pengusaha Otobus MUda Indonesia (IPOMI), Kurnia Lesani Adnan menyebut, tak lepas dari tren kebutuhan perusahaan otobus (PO) yang ada di Tanah Air. Saat ini, kata Lesani, PO banyak yang membeli unit bus berkapasitas mesin besar, seiring dengan perubahan manajemen perjalanan bus yakni bus terus digeber hingga jarak terjauh.
“Mengapa kini perjalanan bus diusahakan terus dilakukan hingga jarak terjauh, karena jalan yang dilalui juga semakin bagus yakni jalan tol baik Trans Jawa maupun Trans Sumatera. Perjalanan yang terus menerus ini butuh bus dengan kapasitas mesin besar, kalau enggak mesin bisa jebol. Dan bus bermesin besar itu umumnya buatan Eropa (termasuk Scania),” ujar pria yang juga Direktur Utama PO SAN itu saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Kamis (23/9/2021). (Yat/Din/Aa)