Suzuki Setop Produksi di Thailand, Pemerintah Yakin Pabrikan Lain Tak akan Ikut-ikutan

Suzuki Swift yang diproduksi di Thailand - dok.Suzuki

Bangkok, Mobilitas – Pernyataan tersebut diungkap Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin, usai bertemu dengan pabrikan besar asal Jepang Toyota, Honda, Isuzu, Mazda, dan Mitsubishi, pada Sabtu (8/6/2024).

Laporan The Bangkok Post dan Bangkok Express yang dikutip Mobilitas di Jakarta, Minggu (9/6/2024) menyebut Perdana Menteri Srettha menyebut pemerintah Thailand masih mementingkan produksi kendaraan bermesin pembakaran internal (ICE) Jepang.

“Pertemuan dengan pabrikan besar (Toyota, Honda, Isuzu, Mazda, dan Mitsubishi) untuk membahas langkah-langkah yang mereka perlukan dari pemerintah,” ungkap Srettha.

Meski begitu Streetha menegaskan pemerintah menghormati keputusan Suzuki. Kebijakan itu, lanjut dia, mungkin didasari realita kinerja penjualan pabrikan berlambang huruf ‘S’ itu yang lemah.

“Kami menghormati keputusan Suzuki karena pangsa pasarnya relatif kecil dan produksi mobilnya mungkin tidak sesuai dengan permintaan di Thailand,” tandas dia.

Ilustrasi, logo Suzuki – dok. Istimewa via Patayya Mail

Namun, Kepala Kantor Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja Thailand, Suwanna Khantivisit, menyatakan keprihatinannya mengenai memburuknya situasi ketenagakerjaan di provinsi Rayong (Tahiland Timur yang menjadi pusat lokasi pabrikan mobil). Dia menyebut sebagian besar pekerja di wilayah itu rentan berisiko terkena PHK di masa depan.

Suwanna mengatakan sektor industri otomotif yang mempekerjakan 39.321 karyawan di 137 perusahaan terus mengalami tekanan. “Pertumbuhan pasar kendaraan listrik (EV) telah menyebabkan penurunan dan stagnasi industri kendaraan bermesin pembakaran,” kata Suwanna.

Pernyataan senada diungkap Wakil Ketua Federasi Industri Thailand (FTI), Isares Rattanadilok. Dia menyebut sepanjang enam bulan pertama 2024 ini sedikitnya 360 pabrik (yang terkait dengan produksi mobil konvensional) tutup, dengan kerugian investasi sekitar 9,4 miliar baht.

“Rendahnya pertumbuhan ekonomi telah memaksa industri untuk memitigasi risiko. Kebijakan pemerintah yang mengerek upah minimum dan promosi impor kendaraan listrik telah merugikan daya saing sektor ini,” tandas Isares.

Suzuki Swift yang diproduksi di Thailand – dok.Pinterest

Terlebih, pemerintah telah gagal memberikan dukungan secara konsisten kepada industri dalam negeri. “Sehingga menyebabkan tekanan finansial akibat kenaikan suku bunga, tingginya biaya bahan bakar dan listrik,” ujar Isares.

Sekadar informasi, data FTI yang disitat Mobilitas di Jakarta, Minggu (9/6/2024) menunjukkan selama Januari – April 2024 mobil yang terjual di Negeri Gajah Putih ini sebanyak 210.494 unit. Jumlah itu anjlok 23,9 persen dibanding tahun lalu.

Sementara, jumlah mobil yang diproduksi pada periode itu sebanyak 518.790 unit. Total angka produksi ini ambles 17,05 persen dibanding Januari – April 2023. (Din/Aa)