Jakarta, Mobilitas – Berbagai kasus kecelakaan yang diidentifikasi karena kendaraan mengalami rem blong terjadi karena pengemudi atau supir yang gagal melakukan pengereman dengan benar. Terlebih fakta menunjukkan, kasus kecelakaan dikarenakan faktor sistem pengereman itu, sekitar 90% terjadi di lintasan yang menurun alias turunan.
Fakta ini diungkap oleh investigator senior Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Ahmad Wildan, saat dihubungi Mobilitas di Jakarta, Jumat (28/1/2022).
“Kecelakaan itu terjadi karena cara atau gaya pengereman pengemudi truk yang tidak memahami teknik yang semestinya. Artinya, pemahaman teknis dari pengemudi yang kurang. Karena pengereman di lintasan datar dan menurun itu sangat berbeda,” papar Wildan.
Secara teknis teoritis maupun fakta empiris yang ada, ketika di lintasan datar saat kendaraan truk maupun bus direm menggunakan service brake alias menggunakan perangkat sistem pengereman yang ada, putaran roda akan berangsur menurun seiring dengan menurunnya putaran mesin. Kendaraan pun akan secara mudah dihentikan lajunya.
“Tetapi tidak demikian ketika di jalanan menurun. Karena faktor kondisi topografi yang seperti itu, daya dorong gravitasinya tentu sangat besar ketika di kemiringan sudut yang besar dan kendaraan dalam posisi turun,” ungkap Wildan.
Sehingga, lanjut dia, kekuatan daya dorong itu juga membutuhkan penahan (rem) yang ekstra pula. Oleh karena itu, di sinilah perlunya penggunaan auxiliary brake atau rem tambahan. Itu bisa berypa sistem rem ekstra yang disediakan oleh pabrikan maupun dari cara atau gaya pengereman. Nah, inilah yang sering dilupakan oleh para supir truk maupun bus.
Gaya pengereman yang tak tepat
Cara pengereman ekstra itu sejatinya sudah dikenal oleh sebagian besar supir yakni dengan engine brake. Tetapi, karena teknologi maupun kondisi kendaraan (terutama truk yang sering dimodifikasi menjadi over dimenssion dan over load atau ODOL), maka cara melakukan engine brake pun tak akan efektif atau tidak tepat.
“Meskipun rem laju kecepatan truk diturunkan dengan pedal gas dilepas pun laju truk tetap kencang karena daya dorong gravitasi yang jauh lebih besar melampaui kapasitas daya tahan kendaraan,” kata Wildan.
Fakta tersebut membuktikan bahwa kendaraan yang melampaui batas-batas standar dalam dimensi ukuran maupun muatan telah melampui daya dukung atau kapasitas pengereman. Padahal, dalam kondisi standar saja, saat melibas lintasan menurun juga perlu langkah ekstra dalam pengereman.
Sebab, ketika melintasi jalanan menurun seperti itu gaya gravitasi yang tinggi menjadikan dorongan ke kendaraan lebih besar. Nah, ketika dilakukan pengereman maka kampas rem akan memanas karena beratnya beban yang harus ditanggungnya.
“Jika, supir terus menginjak pedal rem, kampas rem akan semakin memanas, sehingga kampas licin. Apalagi kalau gap antara kampas dengan tromol rem terlalu lebar, sehingga supir merasa remnya kurang pakem dan sering mengerem, yang berujung kampas rem panas dan licin, akhirnya rem pun blong,” jelas Wildan.
Begitu pula dengan penggunaan rem agin, ketika kendaraan melibas turunan dan supir terus melakukan pengereman yang terus menerus – apalagi tanpa disadari supir ada kebocoran pada booster rem – maka akan terjadi tekor angin di sistem tersebut. Kebocoran yang membuat angin terbuang percuma itu akan menyebabkan pengereman tidak optimal.
“Itulah fakta-fakta yang kami (KNKT) temukan dari hasil investigasi di tempat kejadian perkara (TKP) kecelakaan maupun dari penggalian keterangan supir kendaraan baik truk maupun bus yang mengalami kecelakaan,” imbuh Wildan. (Fat/Aa)
Mengawali kiprah di dunia jurnalistik sebagai stringer di sebuah kantor berita asing. Kemudian bergabung dengan media di bawah grup TEMPO Intimedia dan Detik.com. Sejak 2021 bergabung dengan Mobilitas.id